SEJARAH SINGKAT
BABAD DESA SUDIMAMPIR
1. SYEIKH GAGANG
AKING / KI PAGEBANGAN
Pada sekitar abad ke-15 dalam wilayah Kesultanan
Cirebon, ada padepokan yang dipimpin oleh seorang yang bernama SYEIKH GAGANG
AKING / KI PAGEBANGAN bersama seorang putrinya yang bernama DEWI RATNA PENGASIH,
serta beberapa orang santrinya mengembangkan Syariat Islam dan salah seorang
santrinya bernama Abdul Mukhyi. Santri yang bernama Abdul Mukhyi berasal dari
wilayah Bagelen, yang awalnya adalah seorang pengembara dengan tujuan menambah
ilmu keagamaan ke Cirebon namun dalam perjalannya tersesat ke padepokan Ki
Pagebangan.
Pada
suatu ketika datang utusan dari Kesultanan Cirebon untuk meminta bantuan kepada
Syeikh Gagang Aking untuk menghadapi konflik kekuasaan di Kesultanan Cirebon,
maka diutuslah Abdul Mukhyi untuk mengemban tugas itu. Maka berangkatlah Abdul
Mukhyi dengan membawa perlengkapan Kopyah Waring, Baju si Bondal, Ikat Pinggang
berkepalabatok bolu dari buah kelapa dan sebilah keris Si Kunang (karena di
ujung keris itu mempunyai sinar yang berkedip seperti kunang-kunang) selain
perlengkapan peribadi itu, Abdul Mukhyi diberi senjata oleh gurunya berupa
Tombak dan seikat Oman/Merang (tangkai padi/gabah). Dalam medan pertempuran
Abdul Mukhyi berjuang dengan gagah berani, ada satu cerita bahwa saat ditengah
pertempuran dia terdesak, maka ingatlah dia pada pesan gurunya untuk menaburkan
Merang tadi, atas izin Allah SWT, merang tersebut berubah menjadi pasukan
bantuan dalam memenangkan pertempuran tersebut. Sehingga pulanglah Abdul Mukhyi
kembali ke padepokan Ki Pagebangan dengan membawa berita keselamatan dan
kemenangan.
Penuh
rasa gembira dan bangga Syeikh Gagang Aking menyambut kembalinya sang murid
dari peperangan. Dengan penuh penghargaan dinikahkannya sang murid dengan
putrinya Dewi Ratna Pengasih dan memberi gelar kepada Abdul Mukhyi dengan nama
NAMPA SUBAYA (Nampa = Nerima, Subaya = Baik perilakunya, Baya = Bahaya), jadi
arti dari Nampa Subaya adalah Menerima tugas dengan ikhlas dan menjalankan
dengan baik walaupun harus menghadapi bahaya.
Di
suatu hari, Syeikh Gagang Aking memerintahkan Nampa Subaya dan Dewi Ratna
Pengasih untuk berpindah ke suatu tempat di sebelah barat padepokan untuk
membuka pedukuhan baru disana. Maka berangkatlah sepasang suami-istri ini ke
tempat tersebut.
2. SYIEKH ABDUL
MUKHYI / KI NAMPA SUBAYA
Sampailah Syeikh Abdul Mukhyi dan
Dewi Ratna Pengasih di suatu tempat yang ternyata adalah hamparan hutan
rotan/penjalin (Alas Penjalin). Ditempat itu hidup pula seekor ular besar yang
menguasai wilayah tersebut. Akhirnya Syeikh Abdul Mukhyi memerangi ular besar
tersebut dan hewan buas lainnya, diakhir peperangan dengan menggunakan Keris Si
Kunang, ular tersebut dapat terbunuh sehingga ular tersebut diberi nama NAGA
CATMAKA ( Naga = ular yang besar, Cat = mencat/melangkah, Ma = mati, Ka = Kalah),
jadi arti dari nama itu adalah Ular yang melangkahkan kakinya di tempat
tersebut telah mati dikalahkan. Dan dikuburkan Naga Catmaka itu oleh Syeikh
Abdul Mukhyi di sebelah barat Makam Syeikh Abdul Mukhyi sekarang.
Setelah peperangan tersebut maka Syeikh
Abdul Mukhyi mulai mem-babad (menebang pepohonan) untuk membuat tempat tinggal
(pedukuhan/desa) dan mulai bercocok tanam dalam rangka mendukung penyebaran
syariat ajaran agama Islam dan pedukuhan/desa ini diberi nama SUDIMAMPIR,
dengan harapan banyak rakyat yang Sudi untuk Mampir di pedukuhan ini.
Abdul Mukhyi yang berasal dari
Bagelen mengembara meninggalkan kedua orang tua dan seorang adiknya yang
bernama LABDAKRIYA. Sebagaimana keluarga ditingalkan pada umumnya merasa
kerinduan, sehingga diutuslah sang adik (Labdakriya) untuk mencari kakaknya.
Dalam perjalanannya yang memakan waktu lama tibalah Labdakriya pada suatu
tempat dan memutuskan untuk membuka pedukuhan/pemukiman sambil menunggu kabar
berita tentang kakaknya. Pedukuhan/desa itu diberinama TUGU (Tugu = menunggu).
Pada suatu hari yang tenang saat Syeikh
Abdul Mukhyi melakukan aktivitas sehari-hari, terlihat api yang besar dari arah
barat menuju pedukuhannya. Maka untuk menghalau api yang besar tersebut maka
digunakan jurus Sepi Angin untuk menghalau api itu agar tidak menghanguskan
wilayahnya. Setelah api itu padam, dicarilah olehnya asal api tersebut. Setelah
dicari dengan hati-hati bertemulah dirinya dengan adiknya Labdakriya yang
sekian lama tidak bertemu. Ternyata yang mengeluarkan api itu adalah adiknya
Labdakriya, dengan menggunakan jurus Sepi Geni yang bertujuan untuk membuka
pemukiman dengan cara membakar hutan. Setelah pertemuan yang mengharukan itu,
maka dicapailah kesepakan antara dua saudara ini untuk saling menjaga dan
membuka pedukuhan masing-masing.
Dalam kehidupan rumah tangganya
Syeikh Abdul Mukhyi dengan Dewi Ratna Pengasih dikaruniai seorang putra yang
diberi nama ABDUL MUKHITH.
3. SYEIKH ABDUL
MUKHITH / KI GEDE SUDIMAMPIR
ABDUL MUKHITH merupakan anak dari
Syeikh Abdul Mukhyi dan Dewi Ratna Pengasih, yang dibesarkan dalam pendidikan
ajaran syariat Islam oleh kedua orang tuanya. Saat meninjak dewasa Abdul
Mukhith memutuskan untuk mengembara menyebarkan syariat Islam.
Metode/cara pendekatan syiar Islam
yang dilakukan oleh Abdul Mukhith adalah lewat pendekatan sosial budaya,
sehingga dia memutuskan untuk menjadi seorang Dalang Wayang. Sampai pada suatu
ketika dirinya menikahi seorang Juru Kawi (Ronggeng) dan bersama-sama dalam menyiarkan
ajaran Islam. Berbagai tantangan, rintangan dan hambatan mereka lalui tapi
berkat kesabaran, keikhlasan dan niat suci untu syiar maka semua masalah itu
dapat mereka lewati.
Di masa itu banyak pelanggaran
terjadi, baik pelanggaran norma kesultanan maupun norma sosial dikarenakan
kesaktiannya. Sehingga banyak buronan yang dicari oleh pasukan dari Kesultanan
Cirebon. Pada suatu ketika saat Syeikh Abdul Mukhith sedang mendalang di
panggung, datanglah tiba-tiba seorang laki-laki bernama Ki Sana dengan penuh
takut meminta perlindungan kepada Syeikh Abdul Mukhith. Ditanyalah permasalahan
dan penuh bijaksana Syeikh Abdul Mukhith menerima orang tersebut dengan syarat
bertaubat kepada Allah SWT dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi, dan diberi
dua buah batok kelapa berbentuk setengah bola dengan membaca bismillahirrohmanirohiim maka batok
tersebut menjadi alat musik gamelan, diperintahkannya untuk memukul gamelan itu
sambil membelakangi layar. Tidak beberapa lama petugas dari Kesultanan Cirebon
dating untuk mencari Ki Sana, namun atas Izin Allah SWT dan bantuan Syeikh
Abdul Mukhith maka Ki Sana tidak dapat diketemukan oleh pasukan. Setelah
pasukan pencari pulang maka bersyukurlah Syeikh Abdul Mukhith dan memberi nama
panggilan kepada Ki Sana dengan sebutan LESTARI yang artinyta keselamatan yang
langgeng. (posisi makam Ki Sana/Ki Lestari ditemukan oleh Kyai Ibrahim, 50M
disebelah barat Makam Syeikh Abdul Mukhith. Saat menggali tanah untuk
penguburan, ditemukan sesosok jasad yang masih utuh mengeras seperti batu
karang, dengan rambut dan kuku tumbuh memanjang, wallahu a’lam)
Pada suatu hari datang utusan dari
Kesultanan Cirebon ke pedukuhan/desa Sudimampir untuk mengundang perwakilan
dalam rangka memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di Kesultanan Cirebon.
Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW oleh Kesultanan Cirebon pada saat itu
biasanya diadakan sayembara/perlombaan. Pada peringatan tahun ini jenis
sayembara itu adalah mendirikan sebutir telur di atas meja dan mencabut rumpun
tebu dengan cara berjalan melewatinya. Dikarenakan Syeikh Abdul Mukhyi / Ki
Nampa Subaya makin dimakan usia, maka diutuslah Syeikh Abdul Mukhith anaknya
untuk berangkat memenuhi undangan Kesultanan Cirebon. Sebelum berangkat menuju
Kesultanan Cirebon, Syeikh Abdul Mukhyi mendiskusikan perihal sayembara
tersebut dengan anaknya dan sebagai bekal di perjalanan di bawalah Keris Si
Kunang dan segenggam pasir disimpan dalam saku.
Peringatan Maulid Nabi di Kesultanan
Cirebon sangat meriah dan tibalah saat acara sayembara berlangsung, banyak
peserta yang mengikuti sayembara ini dan belum berhasil melaksanakan 2 tugas
itu. Tibalah saat Syeikh Abdul Mukhith mengikutinya. Dengan penuh percaya diri
tapi tanpa kesombongan melaksanakan tugas yang pertama yaitu mendirikan sebutir
telur di atas meja. Syeikh Abdul Mukhith mengambil telur tersebut dengan tangan
kanan, sembari tangan kiri dimasukkan kedalam saku mengambil pasir, maka
diberdirikanlah telur itu di atas meja dengan beralaskan pasir. Selesailah
tugas yang pertama. Tugas yang kedua yaitu mencabut rumpun tebu dengan cara
berjalan melewatinya. Pada malam sebelum perlombaan Syeikh Abdul Mukhith berikhtiar
dengan jalan menggores tanah sekitar rumpun tebu itu dengan Keris Si Kunang
tanpa diketahui orang lain. Maka saat pelaksaan tugas yang kedua, atas izin
Allah SWT saat Syeikh Abdul Mukhith berjalan melewati rumput tebu tersebut,
rumpun tebu itu tercabut dan terbawa olehnya.
Peserta yang tidak ada yang berhasil
melaksanakan 2 tugas itu selain Syeikh Abdul Mukhith dari Sudimampir, maka
dinyatakanlah Syeikh Abdul Mikhith oleh Sultan dan para juri lomba sebagai
pemenang. Sultan Kesultanan Cirebon memanggil Syeikh Abdul Mukhith untuk
menghadap, sambil mengatakan “Engkaulah yang paling cerdik diantara seluruh
peserta, dari Sudimampir putra Abdul Mukhyi”. Lalu dianugerahi nama paggilan
oleh Sultan dengan nama SURA WIKALA (Sura = berani, Wi = luwih/lebih, Kala =
akal), yang berarti seorang pemberani yang memiliki akal untuk meraih
keberhasilan. Sekaligus dinobatkan sebagai KI GEDE SUDIMAMPIR di wilayah
Kesultanan Cirebon.
Sesuai dengan perjalanan waktu dikala
situasi sosial dan politik yang mudah berubah-ubah di saat itu. Maka Kesultanan
Cirebon pada masa pemerintahan SULTAN MATANGAJI, dibuatlah kebijakan untuk
pengamanan lingkungan Kesultanan Cirebon berupa piket bergilir para Ki Gede
dalam wilayah Kesultanan Cirebon. Pada suatu hari saat menjaga Gedung Jimat
(pusaka), Ki Gede Sudimampir (Syeikh Abdul Mukhith) bersama para Ki Gede
lainnya yang mendapat giliran jaga di waktu itu gugur dalam tugas menjalankan
tugas dan dimakamkan di Gunung Sembung sebelah barat Gunung Jati Cirebon.
Setelah gugurnya Ki Gede Sudimampir /
Syeikh Abdul Mikhith, maka dimulailah zaman sistem pemerintahan di desa yang
dikepalai oleh seorang KUWU, baik melalui proses pengangkatan langsung maupun
melalui proses pemungutan suara.